By Chris Biantoro1
Sejak Suharto lengser pada tahun 1998, dan reformasi telah berjalan selama lebih dari 18 tahun, Papua belum menikmati arti perubahan yang sesungguhnya, sebagaimana dinikmati oleh wilayah lain di Indonesia. Inisiatif untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di provinsi Papua dan Papua barat, sebenarnya telah beberapa kali muncul, misalkan yang diinisiasi oleh mantan President Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dimulai dengan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Namun sayang, upaya Gus Dur tidak bertahan lama, karena tidak lama kemudian dia di lengserkan oleh parlemen.
Selanjutnya dibawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga sempat muncul komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan dialog damai antara Papua dan Jakarta, namun inisiatif ini tidak pernah terlaksana, melainkan hanya dijalankan oleh organisasi gereja, seperti Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Disamping itu, Presiden Yudhoyono sempat membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), lembaga ad hoc ini hanya focus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi, sama sekali tidak menyentuh persoalan hukum dan pelanggaran HAM yang dialami oleh penduduk asli Papua selama bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seletah Presiden Yudhoyono lengser, lembaga ini tidak dilanjutkan oleh Presiden Widodo.
Harapan sempat muncul kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), ketika diawal kampanye pemilihan presiden, hingga dilantik menjadi Presiden pada bulan Oktober 2014, Presiden menunjukkan keberpihakan terhadap Papua, diantaranya membangun pasar, membebaskan beberapa tahanan politik, hingga beberapa kali mengunjungi Papua.
Namun belakangan, setelah lebih dari dua tahun berlalu, Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan banyak perubahan. Tidak ada agenda yang jelas terkait penanganan dan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kasus-kasus lama seperti kasus dugaan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tahun 1977-1988, kasus Wasior Wamena 2001-2003, hingga kasus Abepura Papua 2000, meski pernah ada pengadilan Ham namun gagal menghukum para pelaku. Kemudian rangkaian kasus-kasus pelanggaran Ham lainnya, dimana tercatat dalam kurun dua tahun terakhir seperti kasus Paniai2, penyerangan dan pembunuhan terhadap Vijay Pauspaus dan penembakan penduduk lokal di Sanggeng Manokwari Barat3.
Beberapa waktu lalu, Komnas HAM mengumpulkan beberapa referensi dan laporan kasus pelanggaran HAM di Papua dari beragam sumber, salah satunya laporan tentang dugaan genosida di Puncak Jaya Papua 1977-1988 yang dipublikasikan oleh Asian Human Rights Commission (AHRC), Hong Kong, sebuah organisasi HAM regional di Asia4. Namun sampai saat ini, inisiatif Komnas Ham tidak ada kabar dan kejelasan.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik, terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah kasus Paniai, dimana 5 orang pelajar tewas di tembak dan 17 lainnya menderita luka ketika terjadi penyerangan dan penembakan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI di kabupaten Paniai. Tragisnya, meski Komnas HAM telah membentuk tim penyelidik pro yustisia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, untuk menyelidiki kasus ini, hingga saat ini tidak ada kabar. Terakhir Komnas Ham sempat kesulitan anggaran untuk melakukan penyelidikan dilapangan. Tim ini dibentuk berdasarkan surat keputusan Ketua Komnas Ham Nomor 009 / Komnas HAM / III / 2016.
Sejak dibentuk pada 1 Maret 2016, tim penyelidik untuk kasus Paniai belum berhasil mempublikasikan laporan hasil penyelidikan. Sejauh ini, TNI dan POLRI belum menunjukkan keseriusan untuk bekerjasama dengan Komnas Ham dalam upaya penyelidikan terhadap kasus ini. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Presiden Widodo dalam perayaan Natal di Papua, pada 28 Desember 2014, presiden mengatakan “Saya mau kasus ini (kasus Paniai) secepatnya diselesaikan, sehingga tidak terulang dimasa yang akan datang.”
Keseriusan pemerintah Indonesia kembali diuji, setelah enam Negara pasifik diantaranya Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, the Marshall Islands, Tuvalu, dan Tonga. Keenam Negara pasifik tersebut mendesak Indonesia untuk menyelesaikan beragam persoalan hak asasi manusia di Papua, serta menghargai hak untuk menentukan nasib sendiri. Meski sampai saat ini pemerintah belum menunjukkan keseriusan untuk menyelesaikan beragam persoalan di Papua, meluasnya perhatian internasional menjadi tolok ukur bahwa tidak ada perubahan dan perbaikan terkait kebijakan hak asasi manusia di Papua.
Selanjutnya, penting untuk kembali menegaskan pertanyaan kepada Presiden Widodo, apa yang akan anda lakukan untuk Papua, pak Presiden? **
[1] Writer is Indonesian Human Rights Lawyer
[2] Informasi lebih lanjut lihat http://www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-089-2015
[3] Untuk informasi lebih lanjut lihat http://www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-144-2016
[4] Informasi lebih lanjut tentang laporan bisa diakses di http://www.humanrights.asia/news/press-releases/AHRC-PRL-017-2013