Written By: Mr. Gugus Elmo Ra’is, an Indonesian Journalist
Menyimak perjalanan hidup Aung San Suu Kyi, tak ubahnya menikmati sebuah elegi berupa sebuah nyanyian yang penuh berisi ratapan dan rasa duka cita. Tidak hanya buat Suu Kyi tetapi buat seluruh warga Myanmar. Sebuah elegi yang bisa melahirkan persepsi baru jika kekuasaan itu tak ubahnya seperti ‘tuak’ yang memabukan. Bahkan lebih dari premisnya Lord Acton jika kekuasaan itu cenderung korup, “ power absolute tends to corrupt”. Maka sebelum kekuasaanya habis karena memasuki masa pensiun, Jenderal Min Aung Hlaing melakukan kudeta yang seakan menjadi tradisi di negeri yang dulu bernama Burma itu.
Alasan penangkapan, Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint oleh junta militer baru dibawah komando Jenderal Min Aung Hlaing terbilang naïf dan konyol. Meski dimulai dari serangan pendahuluan yang dilakukan oleh partai oposan Union Solidarity and Development Partay (USDP) jika partai Suu Kyi, National League for Democration (NLD) memperoleh kemenangan secara curang. Tetapi konon alasan kudeta yang dilakukan Min Aung itu justru untuk menyelamatkan bisnis keluarganya dan para kroninya di militer.
Keinginan itu terbilang naif, karena dalam konstitusi Myanmar, militer memiliki posisi yang spesial yakni memperoleh jatah setidaknya 25% kursi di parlemen. Serta jatah tiga menteri yang masuk kategori triumpvirat, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan serta Menteri Luar Negeri. Toh, jatah porsi kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi tetap saja membuat militer Myanmar ‘nafsu’ untuk menggoyang kursi kekuasaan dan ingin merebut dari tangan peraih Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1991 itu.
Penghargaan Nobel yang telah diraih Suu Kyi itu adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada aktivis demokrasi dan aktivis kemanusiaan serta HAM. Penghargaan itu diberikan oleh lembaga Nobel yang berbasis di Oslo, sehingga dulu sempat saya konfirmasi ke Kedutaan Norwegia di Jakarta pasca terjadinya Peristiwa 27 Juli, dan saat itu saya tanyakan apakah Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri tidak memenuhi syarat untuk memperoleh penghargaan yang sama.
Pertanyaannya setelah mendapat Penghargaan Nobel sebagai aktivis demokrasi dan kemanusiaan, apakah kebijakan Aung San Suu Kyi untuk menciptakan kedamaian di Myanmar terutama dalam menghadapi isu Rohingnya, setelah dia berkuasa setelah partainya NLD memperoleh kemenangan dalam Pemilu 2015. Faktanya demi untuk kepentingan politik domestik yang notebene mayoritas warga beragama Budha, Aung San Suu Kyi cenderung diam. Meski tekanan dunia internasinal begitu kencang dan menilai telah terjadi genoside dan etnic cleansing (pembersihan etnis). Malah Aung San Suu Kyi sempat membnatahnya, seakan Suu Kyi tertular sekondanya yang sedang mabuk kekuasaan, dengan mengabaikan berbagai tekanan dari luar.
Padahal hingga saat ini tindakan barbar yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap suku Arakan atau yang lebih populer dengan sebutan Rakhine atau Rohingya masih tetap dilakukan. Etnic cleansing (pembersihan etnis) tetap dilakukan secara massif meski telah menelan korban hingga ratusan ribu jiwa.
Berdasarkan catatan lembaga social, Medecines Sans Frontierers (MSF), pada periode Agustus 2017 lalu terhitung sekitar 6.700 jiwa melayang hanya dalam waktu satu bulan. Tindakan barbar yang dilakukan oleh pemerintah yang mayoritas adalah suku Simo-Tibet itu menjadi teror yang menakutkan bagi sekitar 1,3 juta penduduk muslim Rohingnya.
Sikap komunitas internasional dalam menyikapi isu Rohingnya juga terkesan timbul tenggelam. Padahal aksi barbar yang masuk kategori genosida dan etnic cleansing (pembersihan etnis) itu dilakukan secara massif dan sistematis. Karena dilakukan oleh masyarakat serta ada unsur militer yang terlibat. Meski dari persepektif historis mereka adalah bagian dari warga Negara Myanmar karena mereka telah bermigrasi dari Bengal puluhan tahun silam.
Dinginnya reaksi dunia internasional terhadap isu Rohingnya apalagi setelah munculnya kudeta, secara otomatis akan memperpanjang kontrak penderitaan Suku Arakan. Mereka akan selalu diintai bahaya dalam bentuk, penyiksaan, pemerkosaan dan pembunuhan, Padahal upaya penegakkan hukum itu bisa dilakukan minimal menggunakan yurisprudensi kasus Slobodan Milosemic yang telah melakukan kejahatan serupa terhadap Muslim Bosnia dan Kosovo. Hingga akhirnya, menggunakan instrument Jus Cogan, International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia, di Den Haag mengadili Slobodan Milosevic, Februari 2002, dengan tuduhan telah melakukan kejahatan perang. Hingga akhirnya Slobodan menemui ajalnya di sana.
Maka pertanyaannya setelah muncul kasus kudeta serta isu Rohingya bagaimana selanjutnya sikap komunitas internasional untuk mendorong berbagai upaya untuk menegakan HAM di Myanmar. Apakah masih berlaku standar ganda dalam menegakkan HAM di dunia internasional. Apakah komunitas ASEAN dimana Myanmar menjadi salah satu anggotanya masih bisa diharapkan ?.
Sebagai state party (negara anggota) Burma atau Myanmar harus tunduk dan patuh terhadap norma-norma yang telah disepakati (treaty making law) dalam perjanjian bilateral sesama Bangsa ASEAN. Apalagi kawasan ini dianggap sebagai kawasan dengan tingkat kerja sama paling kohesif di dunia. Maka sebagai bangsa yang ‘dituakan’ dan dianggap sebagai pemimpin karena luas wilayah dan jumlah penduduk yang paling besar, Indonesia harus bisa menginisiasi upaya – upaya penyelesaian konflik itu secara damai maupun paksa dan tidak bisa tutup mata.
Persoalannya, komunitas yang telah diikat dalam perjanjian bilateral antara Bangsa ASEAN ini apakah menyangkut terhadap isu-isu HAM. Apalagi kawasan ini telah memiliki lembaga HAM yang bernama Asean Intergovermental Comission On Human Right (AICHR). Sayangnya lembaga ini tidak memiliki kewenangan untuk investigasi dan eksekusi, karena telah terjerat oleh Term of Reference (TOR) deklarasi ASEAN terutama dalam pasal 20 F yang menyatakan, tidak boleh ada saling intervensi antara sesama anggota ASEAN.
Praktis berdasarkan ketentuan ini AICHR, tak ubahnya seperti lembaga ‘arisan’ karena pimpinannya dilakukan secara bergilir tanpa bisa berbuat lebih. Hanya sekedar menyamakan persepsi serta meningkatkan pemahaman tentang HAM antar sesama anggota ASEAN. Dengan kondisi yang seperti itu maka bisa dipahami jika sikap pemerintah negara-negara ASEAN yang terkesan ‘minggrang minggring’ (baca : ambivalen) dalam menghadapi isu-isu kudeta serta isu Rohingnya.
Jadi jangan harap pemerintah Negara-negara ASEAN akan mengambil langkah radikal dengan memutuskan hubungan diplomatik terhadap Myanmar apabila aksi pelanggaran HAM itu akan terus berlanjut. Meski upaya diplomatik hingga saat ini belum membuahkan hasil. Artinya, isu penegakkan HAM belum menjadi skala prioritas bagi Bangsa ASEAN, meski secara ekonomi Bangsa ASEAN mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kerjasama bilateral yang dilakukan baru sebatas kerjasama, ekonomi dan budaya sementara HAM memiliki posisi buncit. Inilah yang menjadi salah satu PR terbesar Bangsa ASEAN.***