Asian Human Rights Commission (AHRC), sebuah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) regional dan internasional, mendukung statemen tentang Akses Keadilan Untuk Keluarga Korban Kasus Kanjuruhan yang dikeluarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Pos Malang dan LBH Surabaya.
Keluarga korban Peristiwa Kanjuruhan bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Pos Malang mendatangi Bareskrim Polri, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tanggal 10-11 April 2023 guna mendesak keadilan. Sebagaimana diketahui sebelumnya atas kasus ini pada 16 Maret lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya telah menjatuhkan vonis kepada terdakwa Abdul Haris (Ketua Panpel) 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara, Suko Sutrisno (Security Officer) 1 (satu) tahun penjara, AKP Hasdarmawan (Danki III Brimob Polda Jawa Timur) 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara, Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag ops Polres Malang) dan AKP Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang) diputus bebas.
Dari total 135 korban yang meninggal dunia, 44 diantaranya adalah korban anak dibawah umur dan perempuan. Maka dari itu pada hari Senin 10 April 2023 kami mendatangi Bareskrim Polri untuk membuat laporan pidana seperti dugaan adanya kekerasan yang menyebabkan kematian terhadap anak dibawah umur dan ketentuan pidana lainnya, seperti pembunuhan serta kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa. Namun setelah diskusi yang cukup panjang dengan pihak SPKT dan juga penyidik Dittipidum, mirisnya Bareskrim Mabes Polri menolak menerima dan menerbitkan laporan model B bagi keluarga korban.
Adapun alasan Bareskrim menolak untuk menerbitkan Surat Tanda Lapor atas pelaporan keluarga korban menurut kami tidak berlandaskan hukum, yaitu karena kami dianggap tidak membawa alat bukti yang cukup dan tidak adanya visum/rekam medis tiap-tiap korban. Alasan tersebut jelas tidak mengacu kepada hukum yang berlaku dikarenakan jenis laporan yang kami ajukan merupakan laporan pidana sehingga kami tidak perlu melampirkan bukti-bukti yang dimaksud. Sebagaimana Pasal 1 angka 2 KUHAP menjelaskan bahwa pengumpulan alat bukti dilakukan melalui proses penyidikan yang nantinya dengan alat bukti tersebut akan membuat terang tindak pidana yang terjadi. Maka dari itu seharusnya pihak Bareskrim tidak boleh menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan yang sah sebagaimana yang dimuat di dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Perkap No. 8/2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selasa, 11 April 2023 korban dan koalisi mendatangi Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan LPSK. Dalam pertemuan dengan Komnas HAM keluarga korban menyampaikan kekecewaan atas vonis ringan yang diberikan oleh Majelis Hakim dan ditolaknya laporan oleh pihak Bareskrim. Koalisi juga mendorong agar Komnas HAM kembali melakukan penyelidikan dan menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Sehubungan dengan hal itu, Koalisi pula bertemu Kejaksaan Agung Republik Indonesia guna melaporkan dugaan adanya tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam tragedi Kanjuruhan. Kami juga meminta agar pihak Kejaksaan Agung dapat memantau dan memastikan upaya hukum banding yang saat ini sedang ditempuh berjalan dengan maksimal.
Dalam pertemuan dengan LPSK, keluarga menyampaikan bahwa sampai saat ini keluarga korban kerap mendapatkan intimidasi dari pihak yang tidak dikenal. Selain itu, tidak adanya Restitusi dalam tuntutan JPU pun akhirnya membuat Hakim memvonis terdakwa tanpa mempertimbangkan pemberian restitusi bagi korban. Padahal kerugian yang korban alami bukan materiil tetapi juga immateriil, seperti keluarga korban yang mengalami trauma membutuhkan pendampingan konseling atau rehabilitasi. Berkenaan dengan hal itu, pihak LPSK berkomitmen akan menindaklanjuti kemungkinan lainnya agar para korban dan keluarga korban dapat mendapatkan perlindungan hukum berupa restitusi dan rehabilitasi.
Sulitnya keluarga korban mencari keadilan dan tidak seriusnya pihak berwajib dalam mengungkap dan menuntaskan kasus ini menandakan negara masih gagal menjamin terpenuhinya HAM di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU No.39/1999 Tentang HAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik hingga Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.
Berdasarkan berbagai uraian dan pandangan kami diatas, AHRC mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia serius dalam menuntaskan tragedi Kanjuruhan ini dengan mendesak dan memanggil Menkopolhukam, Kapolri, dan Kejaksaan Agung RI;
2. Kapolri dan Kabareskrim menerima Laporan yang diadukan oleh keluarga Korban Kanjuruhan;
3. Mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung secara proaktif segera melakukan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM Berat Tragedi Kanjuruhan sebagaimana diatur dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
4. Mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) memeriksa dugaan pelanggaran hakim yang memberikan vonis bebas dan ringan;
5. Mendesak Kompolnas melakukan pengawasan terhadap buruknya kinerja Bareskrim yang menolak laporan keluarga korban Kanjuruhan;
6. Mendorong Kejaksaan Agung mengawal maksimal proses Banding dan Kasasi sidang Kanjuruhan;
7. Mendorong LPSK tetap maksimal memberikan perlindungan hukum bagi saksi dan korban Kanjuruhan.