Asian Human Rights Commission (AHRC) mengecam tindakan dari Kepolisian Republik Indonesia, yang telah secara aktif melakukan rekayasa kasus dalam beragam kasus baru-baru ini. Bulan lalu, AHRC juga mengeluarkan surat desakan dengan nomor AHRC-UAC-070-2015 tentang rekayasa kasus, dimana seorang investigator senior dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditangkap dan dipidanakan.
Sejak Presiden Joko Widodo akhirnya membatalkan pencalonan Komisaris Jenderal Pol (Komjen) Budi Gunawan, dan justru mempromosikan kandidat lainnya yaitu Komjen Pol Baddrodin Haiti (yang saat ini berpangkat Jenderal), menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), setidaknya 46 orang telah menjadi korban dari rekayasa kasus.
Presiden Widodo membatalkan pencalonan Komjen Pol Gunawan, sebagai kandidat Kapolri, karena KPK telah menetapkan dia sebagai tersangka korupsi. Presiden akhirnya mempertimbangkan secara serius masukan dari tim Sembilan, yakni sebuah tim ad hoc yang dibentuk oleh Presiden untuk memberikan masukan tentang diangkat atau tidaknya Komjen Pol Gunawan sebagai Kapolri.
Namun demikian, AHRC juga telah mempelajari bahwa akibat dari pembatalan tersebut, dalam enam bulan terakhir, jumlah kasus rekayasa yang dilakukan oleh POLRI meningkat tajam. Situasi ini terjadi dibawah pengawasan Kabareskrim, Komjen Pol Budi Waseso.
Sebelumnya, Komjen Pol Waseso berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen), ketika dia masih sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Gorontalo, dan hanya dalam waktu satu tahun, dia selanjutnya menjadi Komisaris Jenderal (Jenderal bintang satu menjadi bintang tiga).
Keputusan untuk mempromosikan Komjen Pol Waseso sebagai Kabareskrim telah diprotes secara luas oleh banyak organisasi hak asasi manusia. Karena disamping Komjen Pol Waseso, banyak perwira tinggi lainnya dilingkungan POLRI yang lebih layak menjadi Kabareskrim. Lebih jauh lagi, Komnas HAM juga telah melakukan pemeriksaan dan menyediakan laporan kepada Presiden tentang rekam jejak Komjen Pol Waseso. Namun, desakan yang meluas, ditambah dengan pertimbangan dari Presiden tidak dipertimbangkan secara serius oleh Presiden dan Kapolri untuk membatalkan Komjen Pol Waseso sebagai Kabareskrim.
Menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), organisasi yang terkenal di Indonesia, dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, sebelum menjadi Kabareskrim, Komjen Pol Waseso telah melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Salah satu contohnya, pada tahun 2012, ketika dia menjadi Kepala Biro Pengamanan Internal (Karopaminal), dia secara melawan aturan melakukan pemindahan secara ilegal terhadap Kombes Pol Jenmard Mangouli, Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Sulawesi Utara, ke Mabes Polri, tanpa disertai dengan tugas dan posisi yang jelas. Pada waktu itu, Kombes Pol Mangouli telah melaporkan kasus ini ke Divisi Propam Mabes Polri, namun tidak ada tindak-lanjut yang jelas.
Sebagai tambahan, Komjen Pol Waseso juga menolak melaporkan harta kekayaannya ke KPK dan juga PPATK, padahal ini telah dimandatkan oleh undang-undang kepada setiap pejabat tinggi negara. Dia justru menantang KPK untuk melakukan investigasi jika memang diperlukan.
AHRC mendapatkan informasi bahwa Komjen Pol Waseso dipromosikan sebagai Kabareskrim karena campur tangan dari Komjen Pol Budi Gunawan (tersangka kasus korupsi), ketika dia menduduki posisi strategis di Mabes Polri; saat ini Komjen Pol Gunawan menjabat sebagai Wakapolri. Setelah Komjen Pol Waseso menjabat sebagai Kabareskrim, dia mulai melakukan rekayasa kasus yang menyasar kepada siapapun yang mengancam atau membuka kasus korupsi Komjen Pol Gunawan.
Dibawah kekuasaannya, kepolisian telah melakukan rekayasa kasus terhadap setidaknya 46 orang dari beragam latar belakang. Adapun mereka yang menjadi korban diantaranya empat komisioner KPK, 21 penyelidik KPK, dan tiga kepala Biro di KPK. Selain itu, lima dosen dan aktivis anti korupsi, tiga mantan pejabat tinggi negara yaitu Yunus Husein, mantan Kepala PPATK, Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, dan Komariah Emong, mantan hakim agung, kemudian dua komisioner Komisi Yudisial, dan delapan komisioner Komnas HAM serta pimpinan redaksi majalah Tempo.
Salah satu contoh dari kasus rekayasa yang cukup menonjol adalah, dalam kasus Abraham Samad, Ketua KPK, dan Bambang Widjojanto, komisioner KPK. Mereka di jerat dengan rekayasa dan dinyatakan sebagai tersangka untuk tindak pidana yang sebenarnya tidak masuk kategori pidana serius, mereka menjadi tersangka setelah mengumumkan secara publik status tersangka dari Komjen Pol Gunawan. Akhirnya mereka berdua harus mengundurkan diri karena mematuhi undang-undang akibat dari status tersangka.
Kepolisian, khususnya sejak Komjen Pol Waseso menjadi Kabareskrim, telah melakukan diskriminasi penegakan hukum. Contohnya jika ada laporan polisi terkait kasus-kasus penyiksaan, atau dugaan kesewenangan anggota Polri, pihak kepolisian tidak akan menindaklanjuti secara serius, namun jika ada laporan terkait pencemaran terhadap Komjen Pol Gunawan, Kepolisian akan bertindak cepat.
Oleh karenanya, AHRC menyerukan kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Widodo, untuk segera memerintahkan Kapolri, Jenderal Pol Baddrodin Haiti, untuk secepatnya menghentikan segala bentuk rekayasa kasus terhadap siapapun yang mendesak penyelidikan terhadap dugaan korupsi yang melibatkan Komjen Pol Gunawan. Lebih jauh, dugaan korupsi terkait Komjen Pol Gunawan harus dipastikan diinvestigasi lebih lanjut tanpa penundaan dan mengulur waktu.
Presiden, sebagai pimpinan tertinggi Polri, harus secepatnya memastikan bahwa investigasi dan pemeriksaan terhadap Komjen Pol Waseso atas keterlibatannya dalam kasus kasus rekayasa dan segera menggantikan nya dengan perwira tinggi Polri lainnya yang memiliki rekam jejak dan profesionalisme lebih baik.
AHRC juga dengan segala hormat meminta kepada Presiden Widodo untuk memastikan keberlanjutan reformasi kepolisian, yang telah dipisahkan dengan militer sejak tahun 2002.
Terakhir, AHRC juga meminta kepada Presiden Widodo untuk memeriksa apakah kedudukan Polri saat ini dibawah Presiden, adalah telah ideal. Hal ini mempertimbangkan apakah memungkinkan Polri digeser dibawah Kementrian Dalam Negeri. Karena dibawah Presiden, pengawasan internal dan external tidak berjalan dengan baik dan untuk memastikan reformasi Polri tetap berlanjut.