A Joint Statement* by the Asian Human Rights Commission (AHRC) and the 1965 Murder Victims Research Foundation (YPKP 65)
Negara belum serius menuntaskan kasus–kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu. Ini berimplikasi pada ketidakpastian hidup korban. Khusus untuk tragedi 1965, sudah lebih dari empat dasawarsa mengambang. Padahal menurut banyak sumber, kurang lebih dari 3.000.000 (tiga juta) jiwa menjadi korban dalam peristiwa ini.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang semula memberi harapan, telah gagal menjadi solusi alternatif. UU KKR ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kini, praktis tinggal Pengadilan HAM (UU 26/2000) sebagai jalan memperoleh keadilan. Kemudian apakah ini mampu menjadi jalan bagi pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak–hak korban tragedi 1965?
Paripurna Komnas HAM (3 Oktober 2002) pernah memutuskan membentuk tim pengkajian pelanggaran HAM oleh Soeharto. Keputusan ini didasarkan pada pasal 89 ayat 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa Komnas HAM berwenang melakukan pengamatan, penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa – peristiwa pelanggaran HAM. Keputusan ini kemudian ditindaklanjuti dengan SK ketua Komnas HAM Nomor 07/KOMNAS HAM/I/2003 taggal 14 Januari 2003 tentang pengangkatan anggota tim ad hoc penyelidikan dan pengkajian pelanggaran HAM Soeharto..
Salah satu mandat tim tersebut adalah melakukan pengkajian dan penyelidikan tragedi Pulau Buru 1965/1966. Pada saat itu pemerintah Orde Baru memberikan 3 kategori terhadap semua orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S. Golongan A untuk orang yang cukup bukti untuk diadili, golongan B tidak cukup bukti untuk diadili dan golongan C bagi mereka yang hanya terpengaruh ideologinya PKI. Terhadap golongan B itulah selanjutnya dibuang ke Pulau Buru.
Tim untuk Pulau Buru diketuai oleh MM Billah dan mulai bekerja pada 14 Januari 2003 kemudian diperpanjang hingga 14 Mei 2003. Tercatat oleh tim kajian ini terdapat enam unsur kejahatan (element of crime) dalam tragedi pulau Buru dan memposisikan Soeharto sebagai aktor pelanggar HAM by commission dan by ommission karena terbukti adanya unsur perintah dan pembiaran yang dilakukan oleh Soeharto2.
Kemudian secara keseluruhan tim memberikan rekomendasi sebagai berikut;
Pertama, perlu dibentuk tim penyelidikan pro justisia kasus Soeharto;
Kedua, perlu dibentuk tim penyelidik pro justisia kasus pulau Buru;
Ketiga, perlu dibentuk tim pengkajian untuk kasus pembantaian 65;
Keempat, perlu dibentuk tim pengkajian kasus penahanan khusus perempuan plantungan kendal Jawa Tengah;
Kelima, meminta kepada pemerintah membuka arsip–arsip negara yang berkaitan dengan peristiwa 65 (penangkapan, penahanan, pengiriman tapol ke Pulau Buru termasuk arsip militer baik dipusat ataupun didaerah);
Keenam meminta dokumen audiovisual yang berkaitan dengan pembantaian 1965.
Sosialisasi tentang KKR pada awalnya memberikan harapan bagi korban, namun setelah dilahirkan dari proses politik dan disahkan menjadi undang – undang justru banyak kelemahan disana – sini. Hak – hak korban digantungkan pada amnesty pelaku (Psl 27 UU27/2004) dan KKR tidak lagi melengkapi fungsi pengadilan HAM tetapi justru berfungsi sejajar dan menggantikan (Psl 44 UU 27/2004) serta masih banyak lagi kekurangan yang lainnya.
Kemudian dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut beberapa pasal tersebut, namun yang terjadi justru MK dalam putusannya pada tanggal 7 Desember 2006 membatalkan keseluruhan isi dari undang – undang tersebut (tidak mengikat secara hukum). Keputusan ini tentu saja berdampak pada korban dan keluarga korban tragedi 1965 yang sangat berharap KKR mampu menjadi alternatif bagi pemulihan hak dan pengungkapan kebenaran, apalagi mengingat rata – rata usia korban sudah senja.
Jika situasinya sudah seperti ini maka apa yang harus dilakukan oleh korban dan keluarga korban?
Selain tentu saja harus tetap mendorong Komnas HAM agar melanjutkan dan meluaskan penyelidikannya, sehingga tidak hanya sebatas kejahatan di pulau Buru namun harus mampu menyelidiki semua rangkaian kejahatan kemanusiaan dalam tragedi 1965. Rangkaian tujuan ini harus terus diarahkan pada penyelesaian melalui pengadilan HAM. Tidak ada kompromi bagi kesalahan Soeharto. Keadilan tetap keadilan, dan harus ditegakkan.
Kedua, sebagai mekanisme alternatif dari KKR yang ditiadakan, barangkali perlu juga kita pikirkan tema sentral baru. Misalnya, mendorong terciptanya pendekatan serupa tapi dengan tema yang agak berbeda seperti reparasi. Kita bisa saja mewacanakan pentingnya sebuah komisi reparasi, atau semacam komisi pelurusan sejarah atau apapun namanya, dengan tujuan mengembalikan hak-hak korban 1965 melalui program reparasi.
Reparasi Dalam Hukum Internasional
Mekanisme reparasi merupakan bagian tak terpisahkan dari instrumen hukum internasional dan sudah seharusnya praktek di level domestik menyelaraskan dengan setandar internasioanl. Dan berikut adalah beberapa instrumen hukum internasional yang spesifik mengatur reparasi untuk korban pelanggaran hak asasi manusia:
Reparasi ini bisa saja merujuk pengalaman negara lain. Argentina, Chile, Brazil, El Salvador adalah beberapa diantara sekian negara – negara yang memiliki pengalaman reparasi korban pelanggaran HAM berat3. Rata – rata dari mereka merupakan korban rezim pemerintahan otoriter maupun kekejaman perang yang pernah terjadi dan negara merupakan pihak yang harus bertanggungjawab atas upaya pemulihan tersebut.
Pengalaman di Argentina pada tahun 1976 – 1983 merupakan masa berkabung untuk Argentina karena lebih dari 30.000 orang mengalami penahanan dan pembunuhan diluar prosedur hukum dan penghilangan paksa oleh kekuasaan junta militer dan kelompok para militer. Pemerintah Argentina kemudian menggelar peradilan untuk mengadili para pelaku dari kelompok junta militer. Tahun 1989 Presiden Carlos Menem pernah memaafkan para petinggi militer namun keputusan ini di cabut oleh Hakim Rodolfo Corral (Hakim Federal) pada 19 Maret 2004 dan kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan konstitusi.
Tentu saja ini merupakan peluang untuk kembali memperjuangkan hak – hak korban yang dihilangkan dan mengadili para pelaku. Argentina, akan membayarkan U$$ 5,6 juta berbentuk surat obligasi pemerintah pada 140 orang yang disekap sewenang-wenang dalam tahanan akibat perang tahun 1976-1983..
Maka kembali pada uraian awal diatas, penuntasan kasus 1965 merupakan keharusan bagi pemerintah Indonesia. Ini harus disegerakan. Ada sejumlah alasan mengapa hal ini bersifat mendesak :
Pertama, kondisi para korban yang masih terus tercerabik dari hak-haknya. Padahal hak-hak tersebut telah dijamin oleh UUD 1945, terutama Amandemen II (2000).
Kedua, bangsa Indonesia penting untuk membongkar fakta perihal yang sesungguhnya terjadi, terutama soal kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu maupun yang berimbas hingga kini.
Ketiga, diharapkan dengan diketahuinya kebenaran atas pelanggaran HAM tersebut mampu menjadi tali pengikat (rekonsiliasi) dengan warganegara lainnya yang selama ini terdistorsi akan cerita negatif para korban 1965.
Keempat, kebenaran tentang fakta pelanggaran HAM bisa dijadikan dasar pemberian rekomendasi reparasi bagi korban dan penuntutuan jika didapati pihak-pihak yang diduga terlibat dan bersalah.